SEJARAH CANDI
JABUNG
Pada abad ke-14 di kota Sumenep Madura berlangsung
suatu pemerintahan kerajaan yang dipimpin oleh Raja Agus Abdullah dan
didampingi oleh dua orang patih, yaitu Patih Abdurrahman dan Patih Abdurrahim.
Raja Agus Abdullah belum mempunyai istri sebagai
permaisuri. Maka pada suatu saat Sang Raja memanggil kedua patihnya untuk
diajak musyawarah tentang bagaimana mendapatkan seorang putri sebagai
pendampingnya. Patih Abdurrahman berkenan memberikan saran bahwa Permaisuri
yang cocok bagi Sang Raja adalah putri dari tanah Jawa. Ternyata saran dari
Patih Abdurrahman diterima oleh Sang Baginda Raja Agus Abdullah. Tibalah
saat yang baik, Baginda Raja Agus Abdullah mengajak kedua patihnya beserta
prajuritnya yang tangguh berangkat ke tanah Jawa untuk mencari calon
permaisuri.
Sementara itu dipulau Jawa sedang berkembang kerajaan
Majapahit yang dipimpin oleh Prabu Hayam Wuruk dengan didampingi Maha Patih
Gajah Mada. Dalam pertemuan agung dikerajaan Majapahit, Raja Hayam Wuruk
memerintahkan kepada Ki Patih Gajah Mada untuk membangun candi di wilayah Jawa
bagian timur.
Berangkatlah Patih Gajah Mada beserta prajurit yang
berpengalaman dalam membuat candi dan menghadapi musuh bilamana perlu.
Perjalanan laskar Majapahit pimpinan Gajah Mada ke
wilayah timur sampailah di suatu tempat yang cocok untuk beristirahat. Ternyata
di tempat itu terdapat sebuah taman yang indah dan sejuk. Taman itu dijaga oleh
jin yang dapat bicara seperti manusia. Maka terjadilah percakapan antara jin
penjaga taman dan Patih Gajah Mada beserta prajuritnya.
Dalam percakapan itu Patih Gajah Mada ingin masuk dan
mandi di kolam yang terdapat dalam taman itu. Namun maksud Ki Patih ditolak
oleh Jin Penjaga Taman. Karena kedua belah pihak tidak ada yang mau mengalah,
maka terjadilah pertempuran antara Laskar Majapahit pimpinan Gajah Mada dengan
Jin Penjaga Taman.
Dalam pertempuran itu Jin Penjaga Taman terdesak dan akhirnya dapat ditaklukkan
oleh Gajah Mada, namun tidak dibunuh. Karena tidak dibunuh, Jin Penjaga Taman
merasa berhutang budi pada Patih Gajah Mada.
Sebelum ia pergi, Jin itu berpesan pada Gajah Mada 'Hai
Mada, manusia perkasa aku tahu kesaktian dan tujuannmu. Kamu diperintah rajamu
membuat candi. Ketahuilah hai Mada, bahwa membuat candi itu tidak semudah yang
kau bayangkan. Tidak mungkin kau kerjakan sendiri yang dapat membuat candi itu
adalah bangsa halus yaitu bidadari putri dari kayangan.' Setelah menyampaikan
pesan itu Jin Penjaga Taman meninggalkan Laskar Majapahit dan terbang ke
angkasa.
Di kayangan, Bidadari Putri Kayangan bernama Dewi Nawang
Sasi sedang menghadap Sang Bathara Indra ramandanya. Ia mohon pamit ingin ke
bumi. Dewi Nawang Sasi diijinkan asal bersama dengan Dewi Nawang Sukma dan
Nawang Seta. Berangkatlah ketiga bidadari itu turun ke bumi, dan sampailah di
taman yang sejuk dan indah. Disitu, ketiga bidadari bertemu dengan Laskar
Majapahit pimpinan Gajah Mada.
Gajah Mada tahu bahwa ketiga putri itu adalah bidadari
dari kayangan. Gajah Mada ingat pesan Jin Penjaga Taman sebelum pergi. Maka
diutarakannya maksud Gajah Mada ingin membangun candi dan minta bantuan kepada
para bidadari. Para bidadari itupun menyanggupi permintaan Gajah Mada, dengan
tiga macam syarat,antara lain:
1. Pembuatan candi ditetapkan pada malam Jum'at manis.
2.
Saat pembuatan, bangsa kasar seperti manusia dilarang berada disekitar tempat
pembuatan
candi.
3. Setelah usai, hadiahnya harus sesuai dengan
pekerjaan itu.
Mengingat beratnya tugas yang diembannya, Gajah Mada menyanggupi ketiga syarat
tersebut. Karena pembuatan candi tidak boleh dilihat manusia, maka Gajah Mada
bersama prajurit mohon pamit pulang ke Majapahit.
Namun Gajah Mada berniat ingin mengintip bekerjanya para
bidadari membuat candi. Pada malam Jum'at manis, pembuatan candi dimulai.
Pekerjaan pertama dilakukan oleh Nawang Sasi dan Nawang Sukma, sedangkan Patih
Gajah Mada dengan asyiknya mengintip. Namun apa hendak dikata, ulah Gajah Mada
diketahui oleh Nawang Sasi dan Nawang Sukma.
Pembuatan candi itu akhirnya digagalkan, karena itu candi tersebut dinamakan
candi Wurung, yang sekarang masih ada di tengah sawah sebelah barat Jabung
Sisir.
Patih Gajah Mada merasa cemas karena pembuatan candi itu
gagal. Ia segera melanjutkan perjalanan pulang ke Majapahit. Mengetahui Patih
Gajah Mada benar-benar pergi, Nawang Sasi dan Nawang Sukma melanjutkan
membangun candi. Namun tidak ditempat pembuatan semula, ini dipindahkan
kira-kira seribu kaki kearah timur. Pembuatan candi kali ini berjalan
lancar karena dijaga ketat dan tidak ada manusia yang melihatnya.
Tiba saatnya Nawang Sasi menyerahkan candi itu kepada
Patih Gajah Mada sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati bersama. Gajah
Mada menerima candi itu dan mengucapkan terima kasih. Selesai penyerahan candi
Patih Gajah Mada melaporkan kepada Sang Raja Prabu Hayam Wuruk. Sang Prabu
merasa bangga atas keberhasilaan pembuatan candi itu dan bermaksud untuk
meninjau.
Maka berangkatlah Raja Hayam Wuruk beserta rombongan ke
lokasi candi. Raja Hayam Wuruk tertegun dan kagum menyaksikan keindahan candi
itu. Kemudian, oleh Sang Prabu, candi itu diberi nama 'Candi Mojopaito'.
Setelah beberapa saat di lokasi candi, rombongan Prabu Hayam Wuruk kembali ke
Majapahit.
Beberapa hari kemudian datanglah Raja Agus Abdullah dari
Sumenep beserta pengiringnya dilokasi sekitar candi. Raja Agus Abdullah menuju
kearah barat laut, dan sampailah di sebuah taman yang indah dan beristirahatlah
di taman itu. Dalam taman itu terdapat sebuah kolam yang sebenarnya tempat
mandi para bidadari. Raja Agus Abdullah bermaksud mandi di kolam itu. Belum
sampai niatnya terpenuhi, ia dikejutkan oleh sapaan dua orang putri tiada lain
Nawang Sasi dan Nawang Sukma, bidadari yang sedang mandi di kolam
itu. Raja Agus Abdullah terpesona dengan kecantikan kedua putri itu.
Sesuai dengan niatnya datang ke tanah Jawa untuk mencari istri. Oleh karena itu
Raja Abdullah ingin mempersunting Nawang Sasi.
Berbagai upaya Sang Raja untuk dapat berkenalan dengan
Nawang Sasi dan menyampaikan niatnya mempersunting Nawang Sasi untuk dijadikan
permaisuri di keraton Sumenep. Raja Agus Abdullah menemui kesulitan, karena
menurut Putri Nawang Sasi, ia tidak mungkin menjadi istri Raja Agus Abdullah,
karena Putri Nawang Sasi adalah makhluk halus.
Namun godaan Raja Agus Abdullah kepada Putri Nawang Sasi
semakin menjadi sehingga diketahui oleh Nawang Seta. Terjadilah pertempuran
antara Raja dan Nawang Seta. Nawang Seta terbunuh, sedang Nawang Sasi dan
Nawang Sukma melarikan diri terbang ke kayangan.
Sepeninggal Putri Nawang Seta, Raja bersemedi. Disaat
bersemedi, Raja mendengar suara gaib 'Wahai cucu Prabu Agus Abdullah, engkau
mempunyai cita-cita mulia, teruskan dan jangan putus asa! Ikuti petunjuk ini:
pada waktu Putri Nawang Sasi mandi, curilah selendang sayapnya dan sembunyikan
dibawah pohon pisang disebelah taman ini.'
Mendengar suara gaib, Sang Raja terbangun dari semedinya.
Berkali-kali Sang Raja mengadakan pengintaian. Pada hari yang keempatpuluh yang
ditunggupun muncul.
Putri Nawang Sasi dan Nawang Sukma mandi di kolam taman.
Dengan mengendap-endap dicurinya selendang sayap kedua putri yang sedang mandi
itu.
Setelah mandi kedua putri itu hendak mengenakan kembali
selendang sayapnya, namun tidak ada. Mengetahui kedua putri itu menangis Raja
mendekati dan bertanya. Raja mengakui bahwa selendang mereka ada padanya. Kedua
putri itu merengek dan minta selendangnya. Namun raja tidak memberikan. Hingga
Putri Nawang Sasi berkata 'Wahai Tuan Raja serahkan selendang adikku Nawang
Sukma, aku bersedia hidup bersama Tuan Raja, dengan syarat apabila kelak
dikaruniai keturunan, kembalikan selendangku.”
Akhirnya Raja Agus Abdullah menyetujui, dan kembalilah
Nawang Sukma ke kayangan memberi tahu orang tuanya. Sepeninggal Nawang Seta
Raja Agus Abdullah memperistri Nawang Sasi. Mereka menuju candi dan
beristirahat. Dalam peristirahatannya, Putri Nawang Sasi adalah buatan putri.
Maka disitulah tinggal hingga mempunyai keturunan dan diberi nama 'Singo
Jabang'. Sesuai dengan janjinya, setelah punya keturunan Putri Nawang Sasi
meminta kembali selendang sayapnya dan kembali terbang ke kayangan. Tinggal
Raja Agus Abdullah bersama putranya yang bernama Singo Jabang.
Beberapa saat kemudian Raja Majapahit, Prabu Hayam Wuruk
bersama prajuritnya mengadakan kunjungan ke Candi Mojopaito untuk acara
perawatan dan memperindah candi. Sampai di Candi Mojopaito, Prabu Hayam Wuruk
bertemu dengan Raja Agus Abdullah. Masing-masing mempertahankan hak untuk
memiliki candi itu. Menurut Raja Agus Abdullah candi itu miliknya karena yang
membangun candi itu adalah istrinya yaitu Putri Nawang Sasi. Sedangkan menurut
Prabu Hayam Wuruk candi itu milik Sang Prabu karena yang membangun adalah
patihnya yaitu Gajah Mada.
Karena kedua belah pihak tidak mau mengalah, terjadilah
pertempuran antara pasukan Raja Agus Abdullah dan pasukan dari Majapahit. Dalam
pertempuran itu Raja Agus Abdullah terbunuh. Jenazahnya dimakamkan disekitar
candi. Putra Raja Agus Abdullah yaitu Singo Jabang diselamatkan oleh ibunya
yaitu Putri Nawang Sasi dan dibawa kekayangan. Dengan selamatnya Singo Jabang
maka candi itu diberi nama Candi Jabang atau Candi Jabung.
Candi Jabung
Candi Jabung adalah salah satu candi hindu peninggalan kerajaan Majapahit. Candi hindu ini terletak di Desa Jabung, Kecamatan Paiton, Kabupaten
Probolinggo, Jawa Timur. Struktur bangunan candi yang hanya dari bata merah ini
mampu bertahan ratusan tahun. Menurut keagamaan, Agama Budha dalam kitab Nagarakertagama Candi Jabung di
sebutkan dengan nama Bajrajinaparamitapura. Dalam kitab Nagarakertagama candi
Jabung dikunjungi oleh Raja Hayam Wuruk pada lawatannya keliling Jawa Timur pada tahun 1359
Masehi. Pada kitab Pararaton disebut Sajabung yaitu tempat pemakaman Bhre Gundal
salah seorang keluarga raja.[1]
Arsitektur
Candi Jabung berdiri di sebidang tanah
berukuran 35 meter x 40 meter. Pemugaran secara fisik pada tahun 1983-1987,
penataan lingkungan luasnya bertambah 20,042 meter persegi dan terletak pada
ketinggian 8 meter di atas permukaan air laut. Situs terdiri dari dua bangunan
utama yang terdiri atas satu bangunan besar dan yang satu bangunan kecil dan
biasa disebut "Candi Sudut". Yang menarik adalah material bangunan
candi yang tersusun dari batu bata
merah berkualitas tinggi yang diukir untuk membentuk relief.
Bangunan terbuat dari batu bata dan ukuran
candi Jabung adalah panjang 13,13 meter, lebar 9,60 meter dan tinggi 16,20
meter. Candi Jabung menghadap ke arah Barat, pada sisi barat menjorok ke depan,
merupakan bekas susunan tangga naik memasuki Candi. Disebelah Barat Daya
halaman candi terdapat bangunan candi kecil. Menara sudut di perkirakan penjuru
pagar, fungsinya sebagai pelengkap bangunan induk Candi Jabung. Candi Menara
sudut terbuat dari bahan batu bata, bangunan candi tersebut berukuran tiap-tiap
sisi 2,55 meter, tinggi 6 meter.
Arsitektur Candi Jabung sangat menarik,
terdiri atas bagian batur, kaki, tubuh dan atap, pada bagian tubuh bentuknya
bulat (silinder segi delapan ) berdiri di atas bagian kaki candi yang betingkat
tiga berbentuk persegi. Sedangkan pada bagian atapnya dagoda (stupa) tetapi
pada bagian puncak sudah runtuh dan atapnya berhias motif sulur-suluran. Di
dalam bilik candi terdapat lapik arca, berdasarkan inskripsi pada gawang pintu
masuk candi Jabung didirikan tahun 1276 saka (1354 Masehi) pada masa awal pemerintahan
Raja Hayam Wuruk.[2]
Deskripsi
Candi Jabung pada tahun 1866
sebelum di pugar
Candi terdiri dari empat bagian, dari bagian
terbawah; bagian batur, kaki, tubuh, dan atap candi.
Batur
Batur candi berukuran panjang 13,11 meter,
lebar 9,58 meter di atas batur terdapat selasar keliling yang sempit dan
terdapat beberapa panil relief yang menggambarkan kehidupan sehari-hari.
- Seorang pertapa memakai sorban berhadapan dengan muridnya.
- Dua orang lelaki yang sedang berada di dekat sumur, salah seorang memegangi tali timba.
- Diantara panil-panil terdapat panil berbentuk bulat menonjol semacam medalion dan relifnya di dalam medalion sudah aus.
- Singa yang saling berhadapan.
Kaki candi
Pada dasarnya bentuknya segi empat, bagian
barat atau depan terdapat bagian yang menjorok keluar atau bagian konstruksi
yang mendukung tangga naik. Candi Jabung terdapat sebuah bilik segi empat
dengan ukuran 1,30 x 1,30 meter tanpa terdapat pintu masuk untuk memasukinya.
Bagian kaki candi dibagi atas dua bagian.
- Kaki candi tingkat pertama Dimulai dari lis di atas batur yang berbentuk agief (3,51 genta) dengan hiasan daun padina, kemudian lis datar dengan ketinggian kurang lebih 60 cm, di atas lis-lis terdapat bidang panil yang terdiri dari 30 lapis bata merah atau setinggi 12 meter pada bidang panil dipahatkan motif medalion. Bidang tegak dari ornamen daun-daunan yang kesemuanya sudah tidak begitu jelas karena aus. Pada bagian tegak umumnya di pahatkan lukisan manusia, binatang dan pohon-pohonan.
- Kaki candi tingkat kedua Bentuknya hampir sama dengan bagian kaki candi tingkat pertama, dimulai hiasan daun padma dan lis datar. Dibeberapa bagian terdapat bidang vertical selebar 50 cm berisi ukiran kala dan ornamen daun-daunan.
Tubuh candi
Bagian tubuh candi terdapat relief manusia,
rumah dan pohon-pohonan, pada sudut tenggara terdapat relief yang menggambarkan
wanita naik di punggung seekor ikan, relief ini dalam agama Hindu mengisahkan
cerita pelepasan jiwa Sri
Tanjung. Kisah ini melambangkan kesetian seorang
perempuan pada suaminya.[3] Relief Sri
Tanjung juga terdapat di Candi
Penataran di Blitar, Candi
Surawana di Kediri dan Gapura Bajangratu
di Trowulan, Mojokerto. Pada bagian tengah tubuh candi
melalui pintu tersebut terdapat bilik candi yang berukuran 2,60 x 2,58 meter
dan tinggi 5,52 meter dan pada bagian atasnya terdapat batu penutup cungkup
yang berukir. Setelah bagian dasar tubuh candi yang berbentuk persegi,
diteruskan dengan tubuh candi berbentuk tabung (silinder) dihias relief dan
ukiran yang indah dan halus pahatannya. Di atas gawang pintu dan relung di
semua penjuru terpahat bentuk kala,
di bagian bawah ambang pintu bentuknya segi empat menonjol keluar yang
tengahnya dipahatkan kepala naga. Pada atas bingkai pintu ada balok batu kali
terdapat pahatan roset ditengahnya bertuliskan angka tahun saka 1276 saka atau
1354 masehi merupakan bukti masa pembangunan candi Jabung.
Atap candi
Sebagian besar bagian atap candi sudah
hilang. Dari sisa-sisanya kemungkinan besar puncaknya berbentuk stupa dan
atapnya berhias motif sulur-suluran.
Lingkungan sekitar
Candi ini berjarak hanya sekitar 5 km dari
Kecamatan Kraksaan atau 500
meter sebelah tenggara kolam renang Jabung Tirta yang berada di pinggir jalan
raya Surabaya - Banyuwangi.
Situs ini, sebagaimana umumnya candi di Indonesia, diselaraskan dengan gunung.
Jika dikaitkan dengan mata air di sekitarnya, mungkin sekali sumber mata air di
Desa Tamansari (Kraksaan) atau di sekitar desa Taman-Petunjungan (Paiton)
dahulu berperan dalam kegiatan ritual di Candi Jabung. Di Desa Wangkal di
Kecamatan Gading, ditemukan mata air dengan batu bertulis, sehingga rupanya
mata air ini juga merupakan petilasan
penting. Hal ini menjadi petunjuk adanya rangkaian ibadah antara Candi Kedaton di
Kecamatan Tiris dengan candi ini.
No comments:
Post a Comment