Translate you word here

Saturday, October 5, 2013

Assalamu'alaikum, pada kesempatan kali ini saya akan membuat postingan tentang sejarah Candi Jabung . Oke langsung saja . Cekidot



SEJARAH CANDI JABUNG

 Pada abad ke-14 di kota Sumenep Madura berlangsung suatu pemerintahan kerajaan yang dipimpin oleh Raja Agus Abdullah dan didampingi oleh dua orang patih, yaitu Patih Abdurrahman dan Patih Abdurrahim.
Raja Agus Abdullah belum mempunyai istri sebagai permaisuri. Maka pada suatu saat Sang Raja memanggil kedua patihnya untuk diajak musyawarah tentang bagaimana mendapatkan seorang putri sebagai pendampingnya. Patih Abdurrahman berkenan memberikan saran bahwa Permaisuri yang cocok bagi Sang Raja adalah putri dari tanah Jawa. Ternyata saran dari Patih Abdurrahman diterima oleh Sang Baginda Raja Agus Abdullah. Tibalah saat yang baik, Baginda Raja Agus Abdullah mengajak kedua patihnya beserta prajuritnya yang tangguh berangkat ke tanah Jawa untuk mencari calon permaisuri.
Sementara itu dipulau Jawa sedang berkembang kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Prabu Hayam Wuruk dengan didampingi Maha Patih Gajah Mada. Dalam pertemuan agung dikerajaan Majapahit, Raja Hayam Wuruk memerintahkan kepada Ki Patih Gajah Mada untuk membangun candi di wilayah Jawa bagian timur.
Berangkatlah Patih Gajah Mada beserta prajurit yang berpengalaman dalam membuat candi dan menghadapi musuh bilamana perlu.
Perjalanan laskar Majapahit pimpinan Gajah Mada ke wilayah timur sampailah di suatu tempat yang cocok untuk beristirahat. Ternyata di tempat itu terdapat sebuah taman yang indah dan sejuk. Taman itu dijaga oleh jin yang dapat bicara seperti manusia. Maka terjadilah percakapan antara jin penjaga taman dan Patih Gajah Mada beserta prajuritnya.
Dalam percakapan itu Patih Gajah Mada ingin masuk dan mandi di kolam yang terdapat dalam taman itu. Namun maksud Ki Patih ditolak oleh Jin Penjaga Taman. Karena kedua belah pihak tidak ada yang mau mengalah, maka terjadilah pertempuran antara Laskar Majapahit pimpinan Gajah Mada dengan Jin Penjaga Taman.
            Dalam pertempuran itu Jin Penjaga Taman terdesak dan akhirnya dapat ditaklukkan oleh Gajah Mada, namun tidak dibunuh. Karena tidak dibunuh, Jin Penjaga Taman merasa berhutang budi pada Patih Gajah Mada.
Sebelum ia pergi, Jin itu berpesan pada Gajah Mada 'Hai Mada, manusia perkasa aku tahu kesaktian dan tujuannmu. Kamu diperintah rajamu membuat candi. Ketahuilah hai Mada, bahwa membuat candi itu tidak semudah yang kau bayangkan. Tidak mungkin kau kerjakan sendiri yang dapat membuat candi itu adalah bangsa halus yaitu bidadari putri dari kayangan.' Setelah menyampaikan pesan itu Jin Penjaga Taman meninggalkan Laskar Majapahit dan terbang ke angkasa.
Di kayangan, Bidadari Putri Kayangan bernama Dewi Nawang Sasi sedang menghadap Sang Bathara Indra ramandanya. Ia mohon pamit ingin ke bumi. Dewi Nawang Sasi diijinkan asal bersama dengan Dewi Nawang Sukma dan Nawang Seta. Berangkatlah ketiga bidadari itu turun ke bumi, dan sampailah di taman yang sejuk dan indah. Disitu, ketiga bidadari bertemu dengan Laskar Majapahit pimpinan Gajah Mada.

Gajah Mada tahu bahwa ketiga putri itu adalah bidadari dari kayangan. Gajah Mada ingat pesan Jin Penjaga Taman sebelum pergi. Maka diutarakannya maksud Gajah Mada ingin membangun candi dan minta bantuan kepada para bidadari. Para bidadari itupun menyanggupi permintaan Gajah Mada, dengan tiga macam syarat,antara lain:
1. Pembuatan candi ditetapkan pada malam Jum'at manis.
2. Saat pembuatan, bangsa kasar seperti manusia dilarang berada disekitar tempat pembuatan
    candi.
3. Setelah usai, hadiahnya harus sesuai dengan pekerjaan itu.
            Mengingat beratnya tugas yang diembannya, Gajah Mada menyanggupi ketiga syarat tersebut. Karena pembuatan candi tidak boleh dilihat manusia, maka Gajah Mada bersama prajurit mohon pamit pulang ke Majapahit.
Namun Gajah Mada berniat ingin mengintip bekerjanya para bidadari membuat candi. Pada malam Jum'at manis, pembuatan candi dimulai. Pekerjaan pertama dilakukan oleh Nawang Sasi dan Nawang Sukma, sedangkan Patih Gajah Mada dengan asyiknya mengintip. Namun apa hendak dikata, ulah Gajah Mada diketahui oleh Nawang Sasi dan Nawang Sukma.
            Pembuatan candi itu akhirnya digagalkan, karena itu candi tersebut dinamakan candi Wurung, yang sekarang masih ada di tengah sawah sebelah barat Jabung Sisir.
Patih Gajah Mada merasa cemas karena pembuatan candi itu gagal. Ia segera melanjutkan perjalanan pulang ke Majapahit. Mengetahui Patih Gajah Mada benar-benar pergi, Nawang Sasi dan Nawang Sukma melanjutkan membangun candi. Namun tidak ditempat pembuatan semula, ini dipindahkan kira-kira seribu kaki kearah timur. Pembuatan candi kali ini berjalan lancar karena dijaga ketat dan tidak ada manusia yang melihatnya.
Tiba saatnya Nawang Sasi menyerahkan candi itu kepada Patih Gajah Mada sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati bersama. Gajah Mada menerima candi itu dan mengucapkan terima kasih. Selesai penyerahan candi Patih Gajah Mada melaporkan kepada Sang Raja Prabu Hayam Wuruk. Sang Prabu merasa bangga atas keberhasilaan pembuatan candi itu dan bermaksud untuk meninjau.
Maka berangkatlah Raja Hayam Wuruk beserta rombongan ke lokasi candi. Raja Hayam Wuruk tertegun dan kagum menyaksikan keindahan candi itu. Kemudian, oleh Sang Prabu, candi itu diberi nama 'Candi Mojopaito'. Setelah beberapa saat di lokasi candi, rombongan Prabu Hayam Wuruk kembali ke Majapahit.
Beberapa hari kemudian datanglah Raja Agus Abdullah dari Sumenep beserta pengiringnya dilokasi sekitar candi. Raja Agus Abdullah menuju kearah barat laut, dan sampailah di sebuah taman yang indah dan beristirahatlah di taman itu. Dalam taman itu terdapat sebuah kolam yang sebenarnya tempat mandi para bidadari. Raja Agus Abdullah bermaksud mandi di kolam itu. Belum sampai niatnya terpenuhi, ia dikejutkan oleh sapaan dua orang putri tiada lain Nawang Sasi dan Nawang Sukma, bidadari yang sedang mandi di kolam itu. Raja Agus Abdullah terpesona dengan kecantikan kedua putri itu. Sesuai dengan niatnya datang ke tanah Jawa untuk mencari istri. Oleh karena itu Raja Abdullah ingin mempersunting Nawang Sasi.
Berbagai upaya Sang Raja untuk dapat berkenalan dengan Nawang Sasi dan menyampaikan niatnya mempersunting Nawang Sasi untuk dijadikan permaisuri di keraton Sumenep. Raja Agus Abdullah menemui kesulitan, karena menurut Putri Nawang Sasi, ia tidak mungkin menjadi istri Raja Agus Abdullah, karena Putri Nawang Sasi adalah makhluk halus.
Namun godaan Raja Agus Abdullah kepada Putri Nawang Sasi semakin menjadi sehingga diketahui oleh Nawang Seta. Terjadilah pertempuran antara Raja dan Nawang Seta. Nawang Seta terbunuh, sedang Nawang Sasi dan Nawang Sukma melarikan diri terbang ke kayangan.
Sepeninggal Putri Nawang Seta, Raja bersemedi. Disaat bersemedi, Raja mendengar suara gaib 'Wahai cucu Prabu Agus Abdullah, engkau mempunyai cita-cita mulia, teruskan dan jangan putus asa! Ikuti petunjuk ini: pada waktu Putri Nawang Sasi mandi, curilah selendang sayapnya dan sembunyikan dibawah pohon pisang disebelah taman ini.'
Mendengar suara gaib, Sang Raja terbangun dari semedinya. Berkali-kali Sang Raja mengadakan pengintaian. Pada hari yang keempatpuluh yang ditunggupun muncul.
Putri Nawang Sasi dan Nawang Sukma mandi di kolam taman. Dengan mengendap-endap dicurinya selendang sayap kedua putri yang sedang mandi itu.
Setelah mandi kedua putri itu hendak mengenakan kembali selendang sayapnya, namun tidak ada. Mengetahui kedua putri itu menangis Raja mendekati dan bertanya. Raja mengakui bahwa selendang mereka ada padanya. Kedua putri itu merengek dan minta selendangnya. Namun raja tidak memberikan. Hingga Putri Nawang Sasi berkata 'Wahai Tuan Raja serahkan selendang adikku Nawang Sukma, aku bersedia hidup bersama Tuan Raja, dengan syarat apabila kelak dikaruniai keturunan, kembalikan selendangku.”
Akhirnya Raja Agus Abdullah menyetujui, dan kembalilah Nawang Sukma ke kayangan memberi tahu orang tuanya. Sepeninggal Nawang Seta Raja Agus Abdullah memperistri Nawang Sasi. Mereka menuju candi dan beristirahat. Dalam peristirahatannya, Putri Nawang Sasi adalah buatan putri. Maka disitulah tinggal hingga mempunyai keturunan dan diberi nama 'Singo Jabang'. Sesuai dengan janjinya, setelah punya keturunan Putri Nawang Sasi meminta kembali selendang sayapnya dan kembali terbang ke kayangan. Tinggal Raja Agus Abdullah bersama putranya yang bernama Singo Jabang.
Beberapa saat kemudian Raja Majapahit, Prabu Hayam Wuruk bersama prajuritnya mengadakan kunjungan ke Candi Mojopaito untuk acara perawatan dan memperindah candi. Sampai di Candi Mojopaito, Prabu Hayam Wuruk bertemu dengan Raja Agus Abdullah. Masing-masing mempertahankan hak untuk memiliki candi itu. Menurut Raja Agus Abdullah candi itu miliknya karena yang membangun candi itu adalah istrinya yaitu Putri Nawang Sasi. Sedangkan menurut Prabu Hayam Wuruk candi itu milik Sang Prabu karena yang membangun adalah patihnya yaitu Gajah Mada.
Karena kedua belah pihak tidak mau mengalah, terjadilah pertempuran antara pasukan Raja Agus Abdullah dan pasukan dari Majapahit. Dalam pertempuran itu Raja Agus Abdullah terbunuh. Jenazahnya dimakamkan disekitar candi. Putra Raja Agus Abdullah yaitu Singo Jabang diselamatkan oleh ibunya yaitu Putri Nawang Sasi dan dibawa kekayangan. Dengan selamatnya Singo Jabang maka candi itu diberi nama Candi Jabang atau Candi Jabung.

Candi Jabung


Candi Jabung adalah salah satu candi hindu peninggalan kerajaan Majapahit. Candi hindu ini terletak di Desa Jabung, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Struktur bangunan candi yang hanya dari bata merah ini mampu bertahan ratusan tahun. Menurut keagamaan, Agama Budha dalam kitab Nagarakertagama Candi Jabung di sebutkan dengan nama Bajrajinaparamitapura. Dalam kitab Nagarakertagama candi Jabung dikunjungi oleh Raja Hayam Wuruk pada lawatannya keliling Jawa Timur pada tahun 1359 Masehi. Pada kitab Pararaton disebut Sajabung yaitu tempat pemakaman Bhre Gundal salah seorang keluarga raja.[1]
Arsitektur bangunan candi ini hampir serupa dengan Candi Bahal yang ada di Bahal, Sumatera Utara.

Arsitektur

Candi Jabung berdiri di sebidang tanah berukuran 35 meter x 40 meter. Pemugaran secara fisik pada tahun 1983-1987, penataan lingkungan luasnya bertambah 20,042 meter persegi dan terletak pada ketinggian 8 meter di atas permukaan air laut. Situs terdiri dari dua bangunan utama yang terdiri atas satu bangunan besar dan yang satu bangunan kecil dan biasa disebut "Candi Sudut". Yang menarik adalah material bangunan candi yang tersusun dari batu bata merah berkualitas tinggi yang diukir untuk membentuk relief.
Bangunan terbuat dari batu bata dan ukuran candi Jabung adalah panjang 13,13 meter, lebar 9,60 meter dan tinggi 16,20 meter. Candi Jabung menghadap ke arah Barat, pada sisi barat menjorok ke depan, merupakan bekas susunan tangga naik memasuki Candi. Disebelah Barat Daya halaman candi terdapat bangunan candi kecil. Menara sudut di perkirakan penjuru pagar, fungsinya sebagai pelengkap bangunan induk Candi Jabung. Candi Menara sudut terbuat dari bahan batu bata, bangunan candi tersebut berukuran tiap-tiap sisi 2,55 meter, tinggi 6 meter.
Arsitektur Candi Jabung sangat menarik, terdiri atas bagian batur, kaki, tubuh dan atap, pada bagian tubuh bentuknya bulat (silinder segi delapan ) berdiri di atas bagian kaki candi yang betingkat tiga berbentuk persegi. Sedangkan pada bagian atapnya dagoda (stupa) tetapi pada bagian puncak sudah runtuh dan atapnya berhias motif sulur-suluran. Di dalam bilik candi terdapat lapik arca, berdasarkan inskripsi pada gawang pintu masuk candi Jabung didirikan tahun 1276 saka (1354 Masehi) pada masa awal pemerintahan Raja Hayam Wuruk.[2]

Deskripsi






Candi Jabung pada tahun 1866 sebelum di pugar
Candi terdiri dari empat bagian, dari bagian terbawah; bagian batur, kaki, tubuh, dan atap candi.

Batur

Batur candi berukuran panjang 13,11 meter, lebar 9,58 meter di atas batur terdapat selasar keliling yang sempit dan terdapat beberapa panil relief yang menggambarkan kehidupan sehari-hari.
  • Seorang pertapa memakai sorban berhadapan dengan muridnya.
  • Dua orang lelaki yang sedang berada di dekat sumur, salah seorang memegangi tali timba.
  • Diantara panil-panil terdapat panil berbentuk bulat menonjol semacam medalion dan relifnya di dalam medalion sudah aus.
  • Singa yang saling berhadapan.

Kaki candi

Pada dasarnya bentuknya segi empat, bagian barat atau depan terdapat bagian yang menjorok keluar atau bagian konstruksi yang mendukung tangga naik. Candi Jabung terdapat sebuah bilik segi empat dengan ukuran 1,30 x 1,30 meter tanpa terdapat pintu masuk untuk memasukinya. Bagian kaki candi dibagi atas dua bagian.
  1. Kaki candi tingkat pertama Dimulai dari lis di atas batur yang berbentuk agief (3,51 genta) dengan hiasan daun padina, kemudian lis datar dengan ketinggian kurang lebih 60 cm, di atas lis-lis terdapat bidang panil yang terdiri dari 30 lapis bata merah atau setinggi 12 meter pada bidang panil dipahatkan motif medalion. Bidang tegak dari ornamen daun-daunan yang kesemuanya sudah tidak begitu jelas karena aus. Pada bagian tegak umumnya di pahatkan lukisan manusia, binatang dan pohon-pohonan.
  2. Kaki candi tingkat kedua Bentuknya hampir sama dengan bagian kaki candi tingkat pertama, dimulai hiasan daun padma dan lis datar. Dibeberapa bagian terdapat bidang vertical selebar 50 cm berisi ukiran kala dan ornamen daun-daunan.

Tubuh candi

Bagian tubuh candi terdapat relief manusia, rumah dan pohon-pohonan, pada sudut tenggara terdapat relief yang menggambarkan wanita naik di punggung seekor ikan, relief ini dalam agama Hindu mengisahkan cerita pelepasan jiwa Sri Tanjung. Kisah ini melambangkan kesetian seorang perempuan pada suaminya.[3] Relief Sri Tanjung juga terdapat di Candi Penataran di Blitar, Candi Surawana di Kediri dan Gapura Bajangratu di Trowulan, Mojokerto. Pada bagian tengah tubuh candi melalui pintu tersebut terdapat bilik candi yang berukuran 2,60 x 2,58 meter dan tinggi 5,52 meter dan pada bagian atasnya terdapat batu penutup cungkup yang berukir. Setelah bagian dasar tubuh candi yang berbentuk persegi, diteruskan dengan tubuh candi berbentuk tabung (silinder) dihias relief dan ukiran yang indah dan halus pahatannya. Di atas gawang pintu dan relung di semua penjuru terpahat bentuk kala, di bagian bawah ambang pintu bentuknya segi empat menonjol keluar yang tengahnya dipahatkan kepala naga. Pada atas bingkai pintu ada balok batu kali terdapat pahatan roset ditengahnya bertuliskan angka tahun saka 1276 saka atau 1354 masehi merupakan bukti masa pembangunan candi Jabung.

Atap candi

Sebagian besar bagian atap candi sudah hilang. Dari sisa-sisanya kemungkinan besar puncaknya berbentuk stupa dan atapnya berhias motif sulur-suluran.

Lingkungan sekitar

Candi ini berjarak hanya sekitar 5 km dari Kecamatan Kraksaan atau 500 meter sebelah tenggara kolam renang Jabung Tirta yang berada di pinggir jalan raya Surabaya - Banyuwangi. Situs ini, sebagaimana umumnya candi di Indonesia, diselaraskan dengan gunung. Jika dikaitkan dengan mata air di sekitarnya, mungkin sekali sumber mata air di Desa Tamansari (Kraksaan) atau di sekitar desa Taman-Petunjungan (Paiton) dahulu berperan dalam kegiatan ritual di Candi Jabung. Di Desa Wangkal di Kecamatan Gading, ditemukan mata air dengan batu bertulis, sehingga rupanya mata air ini juga merupakan petilasan penting. Hal ini menjadi petunjuk adanya rangkaian ibadah antara Candi Kedaton di Kecamatan Tiris dengan candi ini.

No comments:

Post a Comment